Sekolah. Menurutku sekolah itu
selain tempat mengajarkan kita dasar keilmuan seperti tulis-menulis, membaca
dan mendengarkan, sekolah juga harus mempersiapkan kita agar menjadi orang yang
mampu menyerap, mengolah, mempraktikkan dan mengambil ilmu dari masyarakat,
termasuk ekonomi dan sosial. Semisal, dulu di sekolah tidak ada Internet, nah
kita harus belajar sendiri untuk bisa mengenal, menggunakan dan memanfaatkan
Internet setidaknya untuk diri sendiri dan syukur-syukur dapat dimanfaatkan
untuk orang banyak. Jadi Istilahnya, sekolah yang baik bagi saya adalah sekolah
yang bisa membentuk siswanya kelak setelah lulus bisa berkembang sendiri di
lingkungan dengan mempergunakan otak mereka sendiri yang telah diisi tetek
bengek keilmuan yang dibutuhkan di masyarakat dalam perkembangan zamannya.
Karena ilmu pengetahuan, masyarakat dan kehidupan, ekonomi, sosial, pola pikir
generasi terdidik dan segala macamnya (atau kita sebut saja “Perkembangan
Zaman”) terus berkembang dan maju. Artinya sekolah juga harus terus bisa
mengikuti perkembangannya dengan perubahan-perubahan strategi, langkah-langkah
yang up to date juga agar bisa memenuhi tuntutan “Perubahan
Zaman” sehingga anak didiknya dapat berhasil untuk hidup mapan di dunia
masyarakat baik secara nasional maupun kelak secara global.
Nah, sekolah yang menurut saya
semestinya up to date, yakni sekolah yang mengerti tuntutan zaman,
kebutuhan bangsa, masyarakat dan dunia. Sekolah yang tidak up to date,
tidak mengikuti “Perubahan Zaman” atau dalam artian hanya mengajarkan keilmuan
dasar seperti menulis, membaca dan mendengar saja yang nantinya akan
menciptakan masalah besar buat bangsa ini akibat kurang tanggap terhadap
perkembangan kebutuhan masyarakat baik secara ekonomi dan sosial.Dan menurut
saya, salah satu masalah yang telah timbul dari sekolah yang tidak up
to date ini adalah jumlah pengangguran yang meningkat di negeri ini.
Jumlahnya mencapai 10,55 juta jiwa, itu dikarenakan dunia pendidikan kita
tidak menlihat sebenarnya apa yang dibutuhkan bangsa; dunia dan masyarakat kita
ini.
Berdasarkan pengalaman saya, di
sekolah (mungkin termasuk orang tua kita juga) pada umumnya mengarahkan kita
untuk bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil, polisi, dokter, bekerja di
pemerintahan yang notabene semua itu volume penyerapan tenaga kerjanya sangat
kecil. Dan ini secara tidak langsung artinya hanya mengajarkan bahwa orang
berhasil apa bila menjadi seperti profesi seperti yang didoktrinkan tersebut
dan yang ada, para siswa mempersiapkan diri sesuai kapasitas yang didoktrin
tersebut. Padahal kenyataanya adalah tantangan yang dihadapi adalah sangat jauh
lebih besar dari itu, mulai dari besarnya perbandingan antara jumlah pelamar
dan jumlah yang diterima sehingga kualifikasi yang diminta adalah yang terbaik
dan belum lagi menghadapi persaingan kualifikasi dari orang luar negeri, dan
yang ada para lulusan ini menjadi tidak memenuhi tuntutan pasar dan kebutuhan
masyarakat ataupun tidak terpakai karena memang ruang untuk kualifikasi mereka
sudah terisi. Penuh!. Belum lagi munculnya diskriminasi pekerjaan. Bahwa
pekerjaan A lebih tinggi derajatnya daripada pekerjaan B, atau pekerjaan C
lebih bergengsi dibanding pekerjaan D, dan seterusnya. Kenapa akhirnya timbul
banyak pengangguran adalah karena kita sudah banyak didokrin untuk selalu
mencita-citakan hanya menjadi pekerja, bukannya mengajarkan kita untuk
mencipta, berkreasi, dan menjadi kreatif secara mandiri seperti berwiraswasta
baik dalam skala kecil, menengah dan besar.
Menurut buku yang pernah saya baca, bahwa
pada awal permulaan Revolusi Industri di Prancis, Inggris, kawasan Eropa dan
lalu menyebar ke seluruh pelosok bumi, dunia mulai membutuhkan tenaga kerja
bersifat administratif, buruh, sales, marketing, akuntan dan manajer. Tetapi
pada abad ini, para pekerja telah menempati lowongan tersebut dan mereka yang
sudah pensiun berjumlah lebih sedikit dan tidak sebanding dengan lulusan
sekolahan yang siap bekerja di posisi tersebut. Dan sayangnya sekolah kita
mempersiapkan dan mengarahkan kita menuju ke dunia yang peluangnya sedikit
serta kita kekurangan informasi tentang bagaimana sebenarnya ‘dunia’ itu yang
lambat laun harus dihadapi untuk bertahan hidup agar tidak menjadi
pengangguran. Dengan adanya lulusan yang menjadi pengangguran berarti sekolah
tersebut telah gagal mendidik murid-muridnya menjadi orang yang bisa berkembang
sendiri terhadap perubahan lingkungan.
Tak bermaksud merendahkan siapapun
atau memberi penilaian buruk dengan menggunakan logika saya ini, tetapi inilah
gambaran yang saya tangkap dari hasil pendidikan bangsa ini dalam menghadapi
dunia global. Menurut saya, lulusan universitas yang memilki kecerdasan
intelektual yang (semestinya) lebih daripada pekerja TKI (Tenaga Kerja
Indonesia) yang notabene hanya lulusan SMA, SMP bahkan SD, tapi yang ada malah
mereka lebih memiliki pendapatan yang jauh lebih besar dibanding kebanyakan para
lulusan intelektual kita ini. Dan parahnya, lulusan sarjana kita tidak dipakai
di perusahaan asing atau setidaknya berada dibawah lulusan sekolah/universitas
luar negeri pada perusahaan asing dan juga perusahaan dalam negeri. Artinya
dimana sebenarnya posisi para intelektual sarjana itu sendiri dalam dunia
global ? Apakah pendidikan kita sendiri sudah mempersiapkan kita menjadi pemain
dalam kiprah dunia global dan bukan hanya sebagai pekerja saja dan sendi-sendi
lainnya dalam era pesar bebas ini? Jikalau belum, berarti bangsa ini cenderung
akan menjadi bangsa yang konsumtif saja dan bukan bangsa yang produktif. Kalau
begini terus, bangsa kita hanya akan menjadi negara pembeli ditengah era
globalisasi dan tetap menjadi negara yang miskin atau setidaknya negara yang
kesulitan berkembang ! Sudahkah sistem pendidikan kita tersadarkan dengan
kenyataan yang akan kita hadapi beberapa tahun kedepan ini ?
Sekolah yang mengaku mengutamakan bahasa Inggris sebagai life skill ini serta usahanya untuk mencerdaskan anak-anak didiknya dalam berbahasa Inggris dalam kenyataannya ternyata biasa-biasa aja atau mungkin kalau boleh jujur, kurang sama sekali ( but I still love my school lho...!) Lain lagi halnya di tempat kuliah saya, (sebagai catatan, saya memilih institusi ini karena saya melihat peluang kerja Internationalnya terbuka lebar dimana setiap tahun jumlah kapal-kapal terus bertambah mengikuti perkembangan ekonomi dunia dan orang yang mau menjadi pelaut terus berkurang. Siklus pelaut yang ingin pensiun dini sangat banyak dengan alasan ingin bekerja di darat terutama di benua Eropa dan Asia ataupun telah mempunyai dana yang cukup untuk mulai berbisnis (Insya Allah saya akan memulai lebih dini untuk membangun bisnis). Sayangnya, di institusi ini dimana saya dipersiapkan menjadi nakhoda kapal yakni dengan cara melatih fisik 70% dan knowledge hanya 30%. Belum lagi kondisi yang tidak kondusif di asrama yang mengakibatkan kemungkinan 30% knowledgetersebut kian berkurang. Padahal seharusnya poin utama yang harus disiapkan untuk kalangan pemimpin seperti nakhoda di atas kapal yang notabene bekerja dalam lingkungan Internasional adalah kecerdasan intelektual seperti manajemen kepemimpinan, komunikasi, dan kebutuhan penguasaan keterampilan bernavigasi itu sendiri. Tapi di institusi ini seperti agak melenceng dari apa yang dituntut oleh pasar dunia, bahkan kalau boleh dibahasakan, saya menyebutnya kurang tepat sasaran. Bersyukurlah bagi orang yang pandai melihat dan membaca situasi seperti ini karena dapat mempersiapkan dirinya sendiri dengan berbagai life skills yang sekiranya diperlukan dalam persaingan pasar bebas dan tidak terlena serta berleha-leha dengan target kampus yang kedodoran tersebut. Pihak pembuat kurikulum kampus yang kurang tanggap dan tidak melihat perubahan terhadap tuntutan dunia kerja bagi pelaut menyulitkan lulusannya untuk bersaing di era globalisasi ini.
Yang terjadi sekarang pada sistem
pendidikan kita adalah orang yang berada di dalamnya tidak berusaha untuk meng-update kebutuhan
“Perkembangan Zaman” sehingga telah menyia-nyiakan kesempatan untuk membentuk
generasi yang up to date pula, yang mampu memenuhi
perkembangan zaman, yang bisa survive ditengah perubahan zaman
dan tidak menjadi gagal dengan berputus asa seperti menjadi pengangguran yang
terfokus hanya menjadi pekerja. Orang-orang yang ada dalam sistem pendidikan
bangsa ini harus up to date dan terus mengikuti perkembangan
zaman, tidak cuek serta hanya berpatokan pada kurikulum yang nyatanya tidak
berhasil menurunkan, malah menambah jumlah pengagguran setiap tahunnya. Ya.,
seorang pendidik sebaiknya selalu tanggap akan perkembangan zaman!. Kurikulum
dan pendidik yang up to date seharusnya menjadi ciri sekolah
yang bisa diandalkan sehingga bisa membawa generasi muda bangsa ini menjadi
generasi yang kreatif, berkualifikasi di zamannya, mampu menghadapi perubahan,
dan tidak bersifat konsumtif dengan hanya menjadi pekerja saja. Sekolah adalah
tempat pembentukan awal suatu bangsa. Buruknya pendidikan merupakan
tanda-tanda awal masa kehancuran dan keterbelakangan bangsa diseluruh aspek,
terutama yang paling menonjol pada dunia ekonomi yang juga merupakan sebagai
gambaran suatu kondisi umum suatu bangsa. Sekolah seharusnya menjadi tempat
yang terindah dan ternyaman serta menyenangkan bagi generasi muda untuk mulai
membangun dirinya dan bangsanya. Sekolah seharsunya dikendalikan dan dijalankan
oleh orang-orang yang selalu up to date sehingga dapat
membentuk generasi yang up to datejuga dan menjadi generasi yang
bisa meng-up to date-kan dirinya terhadap perubahan zaman sehingga bisa survive serta
membangun bangsanya secara optimal. Sekolah adalah pondasi awal suatu manusia,
masyarakat, bangsa dan dunia. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang memilki
sistem pendidikan dan pelaku pendidikan yang selalu up to date terhadap
perkembangan zaman. Marilah kita menjadi bangsa yang up to date!
semoga bermanfaat =))
0 komentar:
Posting Komentar